(Dakwah Komunitas-Multikultural)
Oleh: Azaki Khoirudin
(Ketua Umum PD IPM Kabupaten Gresik periode 2007-2009)
PENDAHULUAN
Indonesi
adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220juta jiwa dengan
wilayah yang terdiri dari 13.000 pulau. Kebenikaan yang terdiri dari 300
suku bangsa, denga 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri
ini terhampar. Ini merupakan tantangan bagi pergerakan dakwah IPM yang
harus senatiasa melakukan upaya pembaharuan secara terus menerus
mengenai paradigma maupun strategi dakwah yang dilakukan secara kreatif
dan inovatif sesuai dengan situasi kondisi zaman dan tempat (makan).
Perjalanan sejarah gerakan dakwah IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo. Pasca perubahan nama dari IRM ke IPM pada Muktamar IRM XVI di Solo, menyisakan banyak ‘pekerjaan-rumah’, agar perubahan nama bukan sekedar euforia tanpa hakikat yang pasti dari sebuah nilai gerakan IPM telah menjalani perjalanan dakwah yang cukup panjang dengan segala bentuk strategi gerakan yang dimilikinya.
Muktamar
IPM XVII di Bantul mencoba menorehkan sejarah dalam sejarah pergerakan
IPM dengan meluncurkan Gerakan Pelajar Kreatif sebagai alur metodik
gerakan yang berbasis pelajar ini. IPM selalu melakukan analisis dengan segala persoalan yang ada, guna menjawab sebuah persoalan tersebut. Bukan berarti Gerakan Kritis Transformatif yang telah di deklarasikan sebelumnya sudah tidak relevan lagi dalam menjawab persoalan saat ini, akan tetapi bagaimana Gerakan Kritis Transformatif dapat di implementasikan lebih riil di lapangan, tidak terkesan kaku dan kuno sehingga mudah diterima dikalangan basis massa IPM, yaitu pelajar saat ini.
Diskursus terjadi
cukup sengit mempertanyakan hakikat GPK sebagai sebuah paradigma baru
atau hanya sebagai sebuah strategi gerakan semata. Karena masih banyak
pihak menyatakan bahwa pisau analisis belum begitu tajam untuk
melahirkannya sebagai gerakan baru. Sehingga efek selanjutnya dibutuhkan konsentrasi yang luar biasa bagaimana produk ini bukan sekedar perubahan yang bersifat simbolis
tanpa ruh. Dari sanalah dapatlah kita lihat bagaimana saat concern isu
belum kita temukan karena ada pergeseran nilai yang bersifat utopis.
Serta model gerakan IPM yang belum menemukan identitasnya. Pencurahan
gagasan yang kritis dan kreatif sangat diperlukan untuk menjawab
dialektika dengan cara menganalisa mana yang tergolong tesis, mana yang
tergolong antitesis, kemudian diambil sintesisnya.
Menjawab
masalah Gerakan Pelajar Kreatif sebagai Paradigma baru atau hanya
strategi Gerakan dan bahkan terjadinya pergeseran nilai, ini tidak mudah
karena harus karena penulis harus melihat IPM dari segi normativitas
dan historisitas. Normativitas yaitu dengan melihat teks, ajaran,
nilai-nilai, dan ideologi. Sedangkan, historisitas yaitu dengan melihat
dari segi praktik dan implementasi teks, ajaran, nilai-nilai, dan
ideologi melalui gerakan-gerakan dan strategi yang dilakukan selama ini.
Sebagai oraganisasi IPM perlu identitas kolektif dan perlu men-tajdid dan men-ta’kid pemikiran mengenai ideologi. IPM harus melakukan pembangunan isu strategis berkait dengan gerakannya dalam kancah lokal, nasional dan internasional rangka mendukung tujuan IPM dan Muhammadiyah
di masa yang akan datang. Sebagai gerakan yang berkarakter
moderat-reformis seperti hanya Muhammadiyah, karakter ini dapat dilihat
dalam “Matan Kepribadian Muhammadiyah” maupun “Matan Kepribadian IPM”.
IPM harus selalu memikirkan masa depan gerakan yang akan
dilakukan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab kepada Allah atas
pemberian anugrah tertinggi-Nya kepada manusia berupa akal. Karena hanya
manusia yang diberi akal, dan dengan karunia itu manusia dapat mencapai
kedudukan lebih tinggi ketimbang malaikat. Salah satu kelebihan akal
manusia ialah kemampuan utuk belajar. Oleh karena itu sebagai orang yang
belajar yang disebut dengan pelajar, IPM bertanggunjawab memikirkan
masa depannya dalam rangka mempertahankan eksistensinya sebagai gerakan
dakwah dikalangan pelajar.
Normativitas dan Historisitas IPM
Mengkaji
IPM yang berada dinaungan payung besar gerakan social keagamaan, yakni
Muhammadiyah adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan pikiran yang
holistic dan tidak mudah. Penulis mengkaji IPM menggunakan dua
pendekatan, yakni pendekatan normativitas dan pendekatan historisitas.
Metode pendekatan Normativitas
yaitu cara membaca dengan melihat teks, ajaran, nilai-nilai, dan
ideologi yang menjadi keyakinan dan cita-cita suatu organisasi atau
sebuah gerakan. Sedangkan, metode pendekatan historisitas yaitu dengan
cara melihat gerakan dari segi praktik dan implementasi teks, ajaran,
nilai-nilai, dan ideologi yang menjadi keyakinan dan cita-cita yang
diperjuangkan melalui gerakan-gerakan riil dan strategi yang dilakukan
selama ini atau lebih tepatnya yaitu pergerakan.
Secara
normatif, IPM dapat dikaji melalui teks-teks ideologis yang dirumuskan,
diantaranya melalui Matan Kepribadian IPM, Muqadimah AD IPM, Khittah
Perjuangan dan Janji Pelajar. Anggaran Dasar menuliskan bahwa IPM adalah
organisasi otonom Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar di kalangan pelajar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur‘an dan As-Sunnah
(AD IPM pasal 3). Dilihat dari pengertian ini, IPM sebagai ortom
Muhammadiyah, artinya IPM memiliki otonomi (independensi) dalam
melakukan upaya-upaya dalam melaksanakan aktivitasnya. IPM memiliki tujuan bersar yang mewakili pembentukan manusia atau pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia, yakni, “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (AD IPM Pasal 6).
Atas
dasar pijakan di atas IPM, sebagai salah satu organisasi berbasis
pelajar dan juga sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah
didirikan sebagai bentuk respon terhadap penjagaan ideologi pelajar dari
ideologi komunis yang berkembang pada saat berdiri. Selain itu, IPM
berdiri karena sebuah keharusan bagi Muhammadiyah untuk menanamkan
nilai-nilai ideologi perjuangan Muhammadiyah kepada kader-kader yang
kebetulan saat itu Muhammadiyah telah memiliki lembaga-lembaga
pendidikan. Karena itu perlu organisasi Muhammadiyah sayap pelajar yang
nantinya konsen pada persoalan-persoalan pelajar dan dunianya. Di
samping itu pula, Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan
dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar
(bermuatan pada membangun kekuatan pelajar menghadapi tantangan
eksternal). Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi Muhammadiyah di masa yang akan datang.
Dalam
historisnya IPM berubah menjadi IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). IRM
adalah nama lain dari IPM yang memiliki filosofi gerakan yang tidak
berbeda dengan IPM. Hanya saja IRM memiliki jangkauan yang lebih luas
yakni remaja. IRM dengan garapan yang luas tersebut mempunyai tantangan
yang berat karena tanggung jawab moral yang semakin besar. Gerakan IRM
senantiasa dituntut untuk dapat menjawab persoalan-persoalan keremajaan
yang semakin kompleks di tengah dinamika masyarakat yang selalu
mengalami perubahan.
Pada
perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya rezim Orde Baru dengan
mundurnya Soeharto sebagai presiden RI kedua, gejolak untuk
mengembalikan nama dari IRM menjadi IPM kembali hidup pada Muktamar XII
di Jakarta tahun 2000. Pada setiap permusyawaratan muktamar sekanjutnya
pun, dialektika pengembalian nama terus bergulir seperti ”bola liar”
tanpa titik terang. Barulah titik terang itu sedikit demi sedikit muncul
pada Muktamar XV IRM di Medan tahun 2006. Pada Muktamar kali ini
dibentuk ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM yang
nantinya akan berakibat pada kemungkinan perubahan nama.
Di
tengah-tengah periode ini pula, PP Muhammadiyah mendukung adanya
keputusan perubahan nama itu dengan mengeluarkan SK nomenklatur tentang
perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah menjadi Ikatan Pelajar
Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta
tahun 2007. Walaupun ada SK nomenklatur, di internal IRM masih saja
mengalami gejolak antara pro dan kontra terhadap keputusan tersebut.
Kemudian,
Pimpinan Pusat IRM mengadakan konsolidasi internal dengan seluruh
Pimpinan Wilayah IRM Se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk
membicarakan tentang SK nomenklatur. Pada kesempatan itu, hadir PP
Muhammadiyah untuk menjelaskan perihal SK tersebut. Pada akhir sidang,
setelah melalui proses dialektika yang cukup panjang, forum memutuskan
bahwa IRM akan berganti nama menjadi IPM, tetapi perubahan nama itu
secara resmi terjadi pada Muktamar XVI IRM 2008 di Solo. Konsolidasi
gerakan diperkuat lagi pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IRM
di Makassar, 26-29 Januari 2008 untuk menata konstitusi baru IPM. Maka
dari itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 2008
di Solo. Atas dasar di atas, dirumuskanlah nilai-nilai dasar Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam Muktamar: 1. Keislaman, 2. Keilmuan, 3. Kekaderan, 4. Kemandirian, dan 5. Kemassyarakatan (Tanfidz IPM XVI, 2008: 8-9).
Dinamika
gerakan terus terjadi membuat Ikatan Remaja Muhammadiyah mengubah diri
kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM). Perubahan ini tidak
hanya perubaan huruf “P” menjadi “R”. Dalam perubahan ini ada semangat
untuk membebaskan pelajar dari berbagai tekanan dan penindasan dari
berbagai kalangan. Hal ini karena karena IRM (pada waktu itu) masih
melihat fenomena pelajar yang terus dijadikan obyek kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak adil, banyaknya penindasan-penindasan terhadap
pejar itu sendiri, dan masih banyak pelajar yang sampai sekarang
terpasung hak-haknya untuk mengembangan bakat, ketrampilan serta
keilmuan. Selain itu orang masih meragukan bahwa sebenarnya pelajar
mampu menjadi subyek dalam setiap perubahan positif. Dalam hal inilah
urgensi untuk kembali kepada pelajar, sehingga gerakan IPM bisa fokus
dari, oleh, dan untuk pelajar. Atars dasar itu pada Muktamar XVII IPM di
Bantul dirumuskan nilai-nilai Dasar Perjuangan menjadi: 1. Nilai Ketauhidan. 2. Nilai Keilmuan 3. Kekaderan, 4. Kemandirian, dan 5. Keadilan. (Tanfidz IPM XVII, 2010: 20).
Melihat
nilai-nilai dasar ikatan antara Muktamar XVI dan XVII, penulis melihat
ada pergeseran nilai, hal itu terlihat pada nilai yang kelima, yakni
nilai kemasyarakan dihilangkan dan diganti dengan nilai keadilan. Apakah
sama antara kemasyarakatan dengan keadilan? Yang jelas adalah berbeda.
Nilai keadilan sudah mencakup kepada keimanan atau katauhidan
(transendensi), karena orang yang beriman sudah jelas menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan. Sehingga IPM sekarang adalah kehilangan nilai
universal yang sangat penting, yakni kemasyarakatan (humanisasi) atau
istilah al-Qur’anya ialah amar ma’ruf.
Kalau IPM memang sebagai gerakan dakwah, maka nilai humanitas harus
dikembalikan dalam rangka mewujudkan perlajar muslim yang
sebenar-benarnya.
Analisa Problematika Gerakan
Kondisi suatu organisasi dapat dianalisis dengan didasarkan dua varaiabel: fokus dan sifat. Fokus kondisi adalah objektif dan subjetif. Masing
masing kondisi ini bisa bersifat positif dan bersifat negatif. Kondisi
objektif adalah kondisi yang ada di luar tubuh organisasi tetapi
mempengaruhi kehidupan dan
gerak langkah organisasi. Kondisi objektif ini bisa bersifat positif
atau menguntungkan tetapi juga bisa bersifat negative atau merugikan,
ataupun bisa memiliki kedua sifat tersebut. Sedangkan kondisi subjektif
adalah kondisi yang ada dalam diri ikatan sendiri, yang juga bisa bersifat positif atau menguntungkan dan negative atau merugikan. Kondisi ini dapat diujudkan kedalam dibawah:[2]
Kondisi
tipe I adalah, fokus subjektif memiliki sifat positif. Antara lain
dapat diidentifikasi dalam wujud, a)terdapat jaringan organisasi sangat
luas mencakup seluruh wilayah Indonesia; b)memiliki struktur organisasi
dan kepemimpinan yang sudah mapan; c)Muhammadiyah memiliki amal usaha
sekolah yang banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air; d)memiliki
anggota yang aktif dan penuh semangat; e);memiliki kekuatan akar rumput
yang kuat di ranting.
Kondisi
tipe II memiliki fokus objektif dan memiliki sifat positif. Antara
lain, a) memiliki sistem politik dan pemerintahan yang demokratis; b)
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan kemungkinan untuk
dimanfaatkan bagi kemajuan kehidupan umat manusia; f) memiliki
keanekaragaman budaya sebagai benteng pertahanan melawan arus globalisasi.
Kondisi
tipe III fokus objektif memiliki sifat negative. Antara lain, a)
memiliki daerah yang luas sebagian wilayah kepulauan tetapi jaringan
tranportasi amat minim; b)pembangunan dan kamajuan daerah tidak merata;
c) kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dimanfaatkan untuk
kegiatan yang cenderungan merusakah kehidupan terutama moral pelajar; d)
globalsiasi mengakibatkan pengaruh asing baik dalam aspek politik,
ekonomi sosial dan budaya cepat masuk dan mempengaruhi hidupan
bermasyarakat; e) dominasi asing dalam kehidupan masyarakat khususnya di
bidang ekonomi dan budaya
sangat kuat; f) sebagian masyarakat masih hidup dalam sikap irrasional;
g) kecenderungan kehidupan sekuler semakin kuat, j) diantara kekuatan
muslim tidak memiliki sistem yang menyatukan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara; k)penegakkan hukum sangat lemah.
Kondisi
tipe IV fokus subjektif memiliki sifat negative. Antara lain, a)tidak
dapat membina anggota dan simpatisan yang belum menjadi kader
sebagaimana yang diharapkan, sehingga banyak diantara mereka mencari
organisasi luar ikatan; b) kurangnya kesadaran ber-IPM di kalangan
sebagian pimpinan dan anggota; d) kemampuan manajemen pada sabagian
besar pimpinan IPM masih rendah; f) banyak aturan dan pedoman organisasi yang sudah out of date;
g) Kekurangan kader dalam berbagai bentuk, yang antara lain muncul
dalam bentuk kekurangan pemimpin berkualitas untuk berbagai posisi.
Analisis Paradigma Gerakan Kritis Transformatif dan Pelajar Kreatif
Secara
historisitas, gerakan dakwah IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli
1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November
1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo
hingga Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM telah menjalani perjalanan
dakwah yang cukup panjang dengan segala bentuk strategi gerakan yang
dimilikinya.
Muktamar
XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai
Gerakan Kritis- Transformatif (GKT). Sebagai gerakan kritis, IPM
memiliki ciri: sadar, peka, dan peduli
terhadap persoalan sosial dalam rangka melakukan sebuah perubahan yang
lebih baik (tanfidz Muktamar XVII). Kritis adalah cara pandang yang
mampu memposisikan dirinya sebagai katalis yang mampu membuat perubahan
di medan social (Karim, 2009: 143). Jika demikian berarti kritis adalah
cara pandang yang tidak hanya mampu memahami tatapi juga mengkritisi apa
yang dipahami. Cara pandang yang secara teoritis dapat
dipertanggungjawabkan secara moralitas dan keilmuan, maka paradigm
kritis itu dialihkan ke medan
social dalam rangka membangun stuktur social untuk merubah masyarakat,
inilah yang disebut dengan “tranformatif”.
Dalam IPM, bentuk transformative ialah upaya
melakukan (Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan) menjadi trilogi
gerakan. Trilogi gerakan ini relevan jika dibandingkan dengan pemahaman
Haidar[3] dalam mengartikan
kata tranformatif sebagai bentuk perubahan-perubahan yang signifikan
pada keyakinan, sikap, perilaku, dan tindakan, yang mana
perubahan-perubahan tersebut bersifat (memajukan, memberdayakan, dan
membebaskan). Namun dari ketiga sifat tersebut yang berbeda ialah kata
penyadaran dengan memajukan, kata penyadaran sudah jelas sama, dan kata
pembelaan memiliki esensi yang sama dengan membebaskan. Sehingga,
trilogi GKT terkesan kurang proaktif dan dinamis kerana tidak ada kata
memajukan.
Sebagai
pewaris dan pejuang keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah, IPM
harus melakukan penyadaran terhadap pelajar mengenai ideologi. Freire
mengklasifikasikan kesadaran manusia menjadi tiga tingkat: 1. Kesadaran
Magis, yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan
antara satu faktor dengan faktor lainnya, misalnya pelajar yang bodoh
tidak mampu melihat kaitan kebodohannya dengan sistem pendidikan dan
kebudayaan yang ada. 2.
Kesadaran Naif, yaitu kesadaran yang melihat aspek manusia sebagai akar
penyebab masalah, dalam hal ini misalnya pelajar yang bodoh tadi mampu
menganalisa bahwa penyebab kebodohannya dikarenakan kemalasan atau tidak
bercita-cita yang jelas, dan
3. Kesadaran kritis, yaitu kesadaran yang mampu melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Dalam hali ini pelajar kritis ialah
yang mampu menganalisa struktur dan sistem sosial dan mampu
mentranformasikannya dalam rangka mencapai kerahmatan.
Paradigma
kritis transformatif, dalam al-Qur’an tidak dibangundengan kerangka
pikiran dekotomis anara ayat Allah SWT, yang verbal berupa al-Qur’an dan
yang non-verbal berupa hamparan alam semesta beserta gejalanya. Dalam
al-Qur’an semangat tranformatif dapat dijumpaai dalam beberapa ayat yang
tertera lafadz al-hijrah, al-jihadu, al-fatihu, al-Rofiu, dan al-Baitsu.
Dalam bentuk moderat, kritis tranformatif menjanjikan multikulturalisme
baik secara etis maupun praktis. Kritis transformatif pada ahirnya
ialah, pengakuan pada adanya multi-rasionalitas, multi-etnis,
multi-budaya, dan multi-agama (Karim, 2009: 183-185). Hal ini berarti,
salah satu kelebihan dari paradigma kritis tranformatif ialah mendorong
terjadinya konsientisasi. Dan multikulturalisme akan menimbulkan
adaptasi budaya antar individu maupun komunitas.
Seorang
pemikir berkebangsaan Brazil, bernama Paulo Freire adalah tokoh yang
secara khusus membicarakan pendidikan . Dalam pandangannya ia berujar,
“Pemikiran Kritis adalah pemikiran yang melihat suatu hubungan
tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dekotomi
antara keduannya. Pemikiran kritis memandang realitas sebagai proses dan
perubahan, bukan entitas yang statis. Pemikiran kritis tidak memisahkan
diri dari tindakan tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah
keduniawian tanpa gentar menhadapi resiko.” Paradgima kiritis
tranformatif, secara garis besar dapat dipolakkan menjadi dua bagian,
yaitu dimensi semangat teoritis pengetahuan dan semangat praksis
pengetahuan. (Karim, 2009: 135). Oleh sebab itu, jika memang IPM dahulu
menggunaka paradigma kiritis tranformatif, maka sudah seharusnya IPM
tidak boleh terlepas dari hiruk-pikuk masalah yang berkembang pada
pelajar.
Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM kembali mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai
jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. IPM menganggap
Gerakan Kritis Transformatif belum terimplementasi pada sebuah aksi
nyata baru sebatas pada akal teoritis, belum menyentuh akal praktis.
Gerakan Kritis Tranformatif, buka berarti sudah tidak relevan lagi dalam
menjawab persoalan saat ini, akan tetapi bagaimana Gerakan Kritis
Transformatif dapat di implementasikan lebih riil di lapangan, tidak
terkesan kaku dan kuno sehingga mudah diterima dikalangan basis massa
IPM, yaitu pelajar saat ini. tantangan pelajar saat ini hidup di tengah
gencarnya arus globalisasi dengan segala bentuk kemajuan zaman yang ada,
persaingan yang kompetitif dan pemanfaatan teknologi maupun informasi
yang serba canggih, menuntut mereka untuk dapat bersaing di zamannya dan
selektif dalam melakukan sebuah pilihan hidup mereka sebagai seorang
pelajar.
Selain
tantangan juga ada yang menjadi ancaman kalau pada waktu berdiri
tantangan IPM adalah berhadapan dengan ideology komunism yang berkembang
pada masa itu, naumun tantanga pada zaman globalisasi seperti hedonism,
sekulerism, pragmatism, liberalism, pluralism, capitalism, materialism,
neoliberalism. dan paham-paham dan budaya lain dari asing yang mau
tidak mau harus dihadapi oleh pelajar muslim yang cenderung dekonstruksi
terhadap pemikiran pelajar. Oleh sebab itu, IPM harus berperan melawan
menjadi antitesa terhadap pemikira-pemikiran tersebut, dan alangkah
lebih baik IPM mampu berdialohg dengan paham-paham tersebut dilandasi
dengan teologi (aqidah) yag kuat dan melakukan sintesa dan dakwah
diagnostik.
Melalui
Gerakan Pelajar Kreatif inilah, IPM mencoba menguatkan diri dan
mensinergikan ketiga dimensi Iman, Ilmu, dan Amal dalam menjalankan
gerakan dakwahnya di kalangan pelajar. Bagaimana IPM dapat melakukan
Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan IRM yang
pernah di deklarasikan kala itu, kemudian menciptakan sebuah karakter
pelajar yang tidak hanya memiliki keshalehan ritual semata tanpa
memiliki ilmu dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, atau
seorang pelajar yang shaleh dan berilmu, akan tetapi tidak
mengamalkannya dengan melakukan sebuah perubahan. Sejalan dengan
Zakiyuddin Baidhawy dalam bukunya Teologi al-Ma’un, nalar teologis harus
dibawa pada nalar kemanusiaan, kemudian nalar kemanusiaah itu dibawah
pada gerakan pro-mustadh’afin. Dan senada dengan Arkoun dan
Hasan Hanafi yang keduanya ingin membawa nalar teosentris, menjadi
antroposentris, tekstual kepada kontekstual, dan teoritis kapada praksis
tindakan.
Hasil analisa sebenarnya GPK pada dasarnya merupakan bentuk kristalisasi dari GKT. GKT dengan Paradigma Kritis melakukan Kesadaran Kritis kemudian baru bentuk aksi yang disebut dengan Gerakan Kritis.
Selama ini dari tiga metode tersebut, IPM belum menyentuh pada rana
gerakan kritis, baru pada tataran paradigm dan kesadaran kritis. Selain
itu konsep ini belum banyak diketahui dan dipahami oleh anggota maupun
kader IPM sendiri, GKT lebih cenderung membentuk gerakan social yang
dilakukan individu bukan secara
kolektif (komunitas) dan menghasilkan kesalehan personal (bukan
kesalehan kolektif). IPM juga tidak hanya menghasilkan kader yang
kritis, tetapi kader yang kreatif, yakni yang mampu bertindak melakukan
tranformasi social. Oleh sebab itu, GKT harus dikristalisasi ke dalam
aksi real yaitu menjadi Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) yang berbasis
komunitas. Sehingga integrasi pelajar
kritis dan pelajar kreatif adalah sangat tepat diterapkan oleh IPM.
Kedua gerakan tersebut yang memang sejatinya tidak bertentangan harus
menjadi kesatuan yang utuh dan GPK bukan menjadi hal baru bagi IPM.
Karena GPK adalah perpanjangan tangan atau bentuk kristalisasi GKT.
Tegasnya, GPK yang terkesan baru ini tidak meninggalkan GKT. Dengan
adanya pemaduan gerakan, maka akan tercipta integritas sebuah Gerakan
Dakwah yang didukung dengan komunitas yang di dalamnya adalah
pelajar-pelajar yang kreatif. Pemaduan paradigma GKT dan GPK, belum
cukup. Karena analisa penulis Gerakan Pelajar Kreatif mirip dengan
Muhammadiyah disebut dengan Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ).
Dakwah Komunitas Multikultural: Integrasi Perlajar Kritis dan Kreatif
Perubahan
paradigma sangat penting untuk dilakukan mengingat tantangan dakwah
yang dihadapi sekarang ini kian kompleks dan berat. Bertahan pada
paradigma lama hanya akan menjadikan gerakan IPM semakin tertinggal
dengan dinamika masyarakat. IPM akan tetap eksis manakala mampu menjawab
tuntutan perubahan dan kebutuhan pelajar. Organisasi hanyalah sebuah
alat, oleh sebab itu IPM sebagai alat perjuangan harus selalu fleksibel
dengan zaman yang dihadapi, karena organisasi harus selalu relevan dan
memiliki efek terhadap zaman yang ada. Langkah penting dalam aktualisasi
dakwah IPM ialah melakukan perubahan paradigma.
Muktamar
XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai
Gerakan Kritis- Transformatif yang memiliki ciri: sadar, peka, dan
peduli terhadap persoalan sosial dalam rangka melakukan sebuah perubahan
yang lebih baik. Tentunya IPM sadar betul terhadap realitas sosial saat
itu, sehingga dengan Gerakan Kritis-Transformatif (GKT) diharapkan dapat menjawab persoalan sosial (pelajar-pendidikan) kala itu IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan.
Namun, di era globalisasi dan zaman yang senantiasa berubah, IPM
sebagai anak panah Muhammadiyah yang memiliki moto Islam berkemajuan.
Maka, Gerakan IPM harus menyesuaikan dengan kemajuan zaman kekinian.
Sebagai wujud dari fleksibilitas gerakan yang senatiasa berusaha agar diterima dengan zaman, maka Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai
jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. Melalui Gerakan
Pelajar Kreatif, IPM kembali menguatkan diri dan mensinergikan ketiga
dimensi Iman, Ilmu, dan Amal dalam menjalankan gerakan dakwahnya di
kalangan pelajar. Kemudian menciptakan sebuah karakter pelajar yang
tidak hanya memiliki keshalehan ritual semata tanpa memiliki ilmu dan
pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun,
sebenarnya GPK dan GKT adalah dua paradigma dan strategi yang sudah
bagus kalau diterapkan dalam IPM. Gerakan Pelajar Kreatif harus
menintegrasi dengan Gerakan Kritis Transformatif. Artinya praksis
gerakan pelajar kreatif harus memiliki ruh gerakan kritis
transformative. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana integrasi
kedua paradigm itu mampu menyentuh dan diterima pada komunitas pelajar.
Apakah GPK mampu masuk kepada komunitas dan nilai-nilai IPM dapat
terbumikan melalui gerakan 1000 komunitas. Atau hanya lebel (branding)
IPM saja yang menyatu dengan komunitas, namun nilai-nilai yang yang
menjadi keyakinan dan cita-cita hidup IPM.
Dakwah
komunitas tidak akan tersentuh nilai-nilai IPM, karena komunitas
memiliki sikap ekslusif. Artinya, lebih tertutup melindungi nilai-nilai
yang ada pada komunitas tersebut. Komunitas lebih senang dan nyaman
dengan kebiasaan dan hony mereka dari pada nilai yang baru dari IPM.
Kerika basis hanya komunitas kecil, dak IPM menjadi tersegmen-segmen
(terjadi parsialisasi). Ideologi IPM akan menyentuh kepada komunitas
manakala ada terjadinya sikap saling menerima, saling menghormati kultur
yang ada pada tiap atau antar komunitas. Inilah yang disebut dengan “dakwah komunitas-multikultural”. Konsep ini seperti halnya Muhammadiyah yang memiliki GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah) yang kemudian disempurnakan dengan “dakwah cultural”. Jadi, tidak ada salahnya jika kita menggunakan dakwah “komunitas-multikultural”. Gerakan
Komunitas-multikultural ialah “upaya untuk mengajak seseorang atau
Kelompok (komunitas pelajar) agar dapat memeluk dan mengamalkan ajaran
Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan nyata”. Artinya
IPM jika ingin mengajak komunitas supaya mengamalkan ajaran Islam dalam
praktis kehidupan, IPM harus menyentuh dan menerima budaya mereka.
Dakwah
tidak sekedar mengajak, tetapi bagaimana melakukan perubahan kepada
mad’u(yang diajak), untuk merubah seseorang bukan hanya pada tataran
memberi tahu, tetapi bagaimana merubah karekter seseorang. Ini sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Oerip S. Poerwopoesito “Alam bukanlah
modal utama dari suatu banga, tetapi manusianya. Dan yang terpenting
dari manusia bukan otaknya, bukan pula fisiknya, tetapi sikap dan
mentalnya” (LKM UMJ, 2011: 149). Ini artinya dakwa IPM tidak hanya pada
tataran intektual tapi harus mengakar pada budaya pada tiap komunitas
sehingga nilai-nilai yang ditransformasi IPM benar-banar mampu menjadi
karakter pelajar yang moderat-reformis seperti matan kepribadian IPM.
Kenapa
perlu dakwah komunitas memperhatikan kultur? Karena dakwah harus
dikombinasikan dengan budaya. Alasan yang paling rasional adalah menurut
Hamzah dalam LKM UNJ (2011:142) bahwa kebudayaan tidak pernah statis,
ia senantiasa dinamis, beradaptasi secara dialiktis dan kreatif dengan
dinamika komunitas, adakalanya mempengaruhi komunitas dakalanya malah
dipengaruhi oleh komunitas. Begitupula IPM dalam berdakwah dikalangan
komunitas pelajar, harus memperhatikan pula kultur pelajar yang beragam.
IPM harus beradaptasi dengan kultur pelajar secara dialektis melalui
pendekantan GKT, dan cara kreatif dengan pendekatan GPK. Sehingga,
integrasi GPK dan GKT harus dilakukan dengan pendekatan
komunitas-multicultural.
Saat ini, multikultural menjadi perhatian yang cukup mengglobal memaksa
setiap komunitas untuk menerimanya. Sebagai gerakan pelajar kreatif
yang berbasis komunitas, maka IPM harus menggunakan strategi dakwah
komunitas-multikultural. Karena bangsa Indonesia yang kita tahu memiliki
banyak budaya, suku, ras dan agama. Istilah multicultural adalah
mengakui, menerima kemajemukan budaya yang sangat beragam. Multikultural
ialah sikap menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia.
Berpijak pada langkah duabelas Muhammadiyah yang ke-12, yaitu, Mempersambungkan Gerakan Luar yang bunyi tafsirnya sebagaima beriut “Kira
berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern),
lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar
Silaturahim, tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah
asasnya masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan
pemimpin Islam.” Melihat rumusan tersebut dan mau mengamalkannya
maka artinya komunitas-komunitas IPM tidak boleh ekslusif, IPM harus
inklusif baik antar komunitas maupun antar kader. Maka jangan sampai ada
Pimpinan Wilayah, atau daerah, bahkan komunitas ekslusif dalam menerima
kader dari Wilayah, Daerah,atau komunitas yang ingin bermutasi dengan
alasan mempertahankan budaya local.
Akar
kata untuk memahami multi cultural ialah kata “multi” artinya banyak,
dan “kultur” artinya budaya. Conrad P. Kottak dalam (Naim & Sauqi,
2010: 123-125), menjelaskan kultur memiliki karakter khusus. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general sekaligus spesifik. Kedua, kultur ialah sesuatu yang dipelajari. Ketiga, kultur ialah sebuah symbol. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami, Kelima, kultur ialah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota komunitas. Keenam,
kultru ialah sebuah model, artinya tersistem secara jelas. Ketujuh,
kuutur ialah sesuatu yang bersifat adaptif. Oleh karena itu dakwah
komunitas multicultural ini merupakan dakwah yang santun, sebagaimana
seperti konsep Kihajar Dewantara dalam Tim Kreatif LKM UNJ (2011:87)
dengan konsep among (menjaga, membina, dan mendidik dengan kasih
sayang), kultur seperti inilah yang harus dimiliki dalam komunitas dalam
melakukan dakwah terhadap pelajar.
Karakteristik
diatas, dapat dikembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap
multikuktural, yaitu kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini,
mengharuskan adanya pemehaman, saling pengertian, toleransi, agar
tercipta kerahmatanlilalamin dan kehidupan yang damai serta terhindar
dari berbagai konflik baik antar maupun intern komunitas. Sedangkan,
komunitas-multikultur ialah komunitas yang mampu menekankan dirinya
sebagai artbitrer, yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi
ketika proses dialog tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. Karena
tidak mungkin sebuah komunitas, apalagi pelajar selamanya berada dalam
keadaan damai tanpa persoalan, sebab persoalan inilah dinamika hidup.
Adapun, dakwah komunitas-multikultural ialah sebuah konsep dimana sebuah
komunitas dapat mengakui keberagaman kultur, sehingga mampu hidup
berdampingan damai dalam prinsip co-existence
yang ditandai kesediaan untuk menhormati komunitas yang budayanya
berlainan. Komunitas-multikultural senantiasa memiliki optimisme sebagai
problem solver ditengah social community.
PENUTUP
IPM,
sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan
menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama
menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo hingga Muktamar XVII di
Yogyakarta, Muktamar XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Kritis- Transformatif (GKT). Gerakan Kritis-Transformatif (GKT) diharapkan dapat menjawab persoalan sosial (pelajar-pendidikan) kala itu IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan. Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini.
Prubahan
GKT ke GPK pada dasarnya bentuk kristalisasi paradigm kritis
tranfotmati menjadi pelajar kreatif. Atau lebih tepatnya merupaka
perpanjangtangan dari kritis teoritis menuju kreatif yang aplikatif.
Gerakan pelajar kreatif, menitik tekankan kepada komunitas, yakni
komunitas pelajar. Dakwah komunitas tidak akan tersentuh nilai-nilai
IPM, karena komunitas dinilai memiliki sikap ekslusif. Jadi, diperlukan
paradigm yang lebih inklusif yang dinamakan Dakwah Komunitas-Multikultural, yang
memiliki sebuah konsep dimana sebuah komunitas dapat mengakui
keberagaman kultur, sehingga mampu hidup berdampingan damai dalam
prinsip co-existence yang ditandai kesediaan untuk menhormati komunitas berlainan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: ReaD dengan Pustaka Pelajar.
Hadjid. 2008. Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur’an. Malang: LPI PPM.
Haidar Nashir. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
Mas Mansur. 2010. Tafsir Langkah Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
Muhammd Karim. 2009. Pendidikan Kritir Transformatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ngainun Naim & Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sulhani Hermawan. 2004. Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam. DINIKA Vol. 3 No. 1
Tasmuji. 2010. Rekonstruksi Teologi, Oksidentalisme, dan Kiri Islam: Telaah Pemikiran Hasan Hanafi. Jurnal aAfkar Fakultas Usuluddin IAIN Senan Ampel Surabaya.
Tanfidz Muktamar 1 Abad Muhammadiyah (Muktamar ke-46), Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
Tanfidz Muktamar XVII Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Yogyakarta, 2-8 Juli 2010
Tanfidz Muktamar XVI Ikatan Remaja Muhammadiyah, SOlo, 2008
Tanfidz Muktamar XV Ikatan Remaja Muhammadiyah, Medan 2006
Tim Kreatif LKM UNJ. 2011. Restorasi Pendidikan Indonesia: Menuju masyarakat Terdidik Berbasiz Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Zakiyuddin Baidhawy. 2009. Teologi al-Ma’un: Manifesto Menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21. Jakarta: Surya Sarana Grafika.
[1] Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi
persyaratan Taruna Melati Utama yang diselenggarakan oleh Pimpinan
Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada tanggal 10 – 20 Mei 2011 di
Bengkulu.
[2] Zamroni. 2007. “Idealitas dan Realitas Sekolah Kader: Mengidentifikasi Tantangan di Masa Depan”. Makalah. Yogyakarta:
disampaikan pada Loka Karya Sekolah kader Muhammadiyah, diselenggarakan
oleh MPK PP Muhammadiyah pada tanggal 10 Nopember 2007 di Universitas
Muhammadiyah Malang.
[3] Haidar
Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) dalam materi “Perkaderan Tranformatif”
yang disampaikan pada Seminar dalam Rapat Kerja Nasional Majelis
Pendidikan Kader Pinpinan Pusat Muhammadiyah (Rakernas MPK PPM) pada
tanggal 22 – 24 April 2011 bertempat di Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Diposkan 28th April 2011 oleh KAUM MODERAT-REFORMIS
0 komentar:
Posting Komentar